Meramu Kisah Ayah-Anak lewat A Man Called Ahok

Meramu Kisah Ayah-Anak lewat A Man Called Ahok - Sahabat Artis Media, kali ini Artis Media akan memberikan informasi penting , viral dan terupdate tentang artis - artis mancanegara dengan judul Meramu Kisah Ayah-Anak lewat A Man Called Ahok yang telah kami rangkum semenarik mungkin untuk menemani dan mengupdate wawasan anda tentang artis atau selebriti kesayangan anda. Semoga informasi dari Artis Media yang telah kami sajikan mengenai tentang informasi Hiburan, dapat menjadikan anda lebih berwawasan dan mengetahui tentang artis idola anda. Tidak lupa Artis Media menyampaikan untuk selalu ikuti informasi dari kami yang menarik, informatif dan ringan mengenai berita - beita artis hanya di Artis-Media.

Judul : Meramu Kisah Ayah-Anak lewat A Man Called Ahok
link : Meramu Kisah Ayah-Anak lewat A Man Called Ahok

Artis-Media with


Sebelum mulai mengerjakan film cerita A Man Called Ahok, sutradara-penulis Putrama Tuta mengaku telah mengenal dekat Basuki Tjahaja “Ahok” Purnama sejak mantan Gubernur DKI Jakarta ini masih menjabat di Balai Kota. Atas kedekatan itu, Ahok memberikan kepercayaan pada Tuta untuk mengangkat kisah masa lalunya di Belitung ke layar lebar.

Bagi Tuta sendiri, Ahok adalah inspirasi dan sosok revolusioner. Begitu Ahok maju dan aktif sebagai pejabat publik, dia merasa sesuatu yang semula abu-abu menjadi jelas mana hitam dan mana putih.

“Indonesia dulu itu abu-abu,” kata Tuta kepada Medcom.id, belum lama ini.

“Ada satu orang yang berani bersuara keras, tiba-tiba semua orang bisa kelihatan, yang mana ini, yang mana itu. Orang ini (Ahok) memberikan dampak sosial luar biasa. Bayangkan kalau masa depan kita nanti, semua punya kekuatan seperti itu. Negara akan sebagus apa,” lanjut Tuta, merujuk ke keberanian Ahok dalam bersikap dan bertindak.

Nilai keberanian itu yang hendak dibagi Tuta lewat A Man Called Ahok, film hasil adaptasi buku kumpulan utas twit Rudi Valinka alias @kurawa, aktivis media sosial yang getol bicara masalah politik, khususnya sejak Pilkada DKI Jakarta 2012. Buku ini dibuat pada 2016 dan selain dijual, kerap dibagikan gratis dalam acara kampanye dan aksi dukungan bagi paslon petahana Basuki Tjahaja Purnama dan Syaiful Djarot.

Isi buku menceritakan pengalaman Ahok masa kecil bersama keluarga dari perspektif beberapa orang yang pernah dekat. Seperti tertulis dalam buku, materinya didapat dari penelusuran Valinka ke Kabupaten Belitung Timur, tanah kelahiran Ahok sekaligus tempat dia pertama kali menjadi pemimpin daerah. Dia ingin melihat, apakah kinerja Ahok di Jakarta sekadar pencitraan atau bukan.

Kendati bukunya lekat dengan kepentingan politik Pemilu, Tuta seperti berusaha menjauh dari situ.

“Saya seorang pembuat film, saya seorang pencerita. Lalu ada sebuah konten (kisah masa kecil Ahok) yang menurut saya, sangat menarik untuk difilmkan, itu saja. Ketertarikan saya adalah cerita,” ungkap Tuta, yang pada akhir Oktober 2018 lalu genap berusia 36 tahun.

Proses Riset dan Membangun Naskah Cerita

Seperti Valinka, Tuta juga meriset riwayat Ahok selama belasan bulan terakhir ke Belitung. Mulai dari tinggal di rumahnya masa kecil, ngobrol dengan keluarga, hingga jalan-jalan “napak tilas” bersama sopirnya. Selain itu, Tuta dibantu tim riset lain yang khusus mengecek fakta.

“Saya jalan riset cerita dan ada tim riset fakta,” ucapnya.

Aktor pemeran Ahok dalam film, Daniel Mananta, melakukan hal serupa setelah lolos audisi. Dia sempat berkunjung ke Belitung Timur untuk jalan-jalan ke berbagai tempat dan ngobrol dengan orang-orang yang mengenal Ahok, termasuk sang ibu dan para saudara serta sahabat.

“Saya juga belajar bahasa rumahnya Pak Ahok, bahasa Khek,” ujar Daniel kepada Medcom.id.



Eric Febrian dan Denny Sumargo dalam A Man Called Ahok (The United Team of Art)

Menariknya, Daniel justru tak pernah bertemu Ahok sama sekali sebelum syuting. Ketika produksi film sedang disiapkan, Ahok telah menjalani vonis penjara di Mako Brimob Depok karena kasus kontroversial berbasis pasal penistaan agama. Visitasi ke Mako sebetulnya bisa terjadi, tetapi ditangguhkan karena alasan lain.

“Ternyata Pak Ahok enggak mau menemui siapa-siapa di Mako Brimob karena ada kasus beliau yang saat itu belum selesai (perceraian),” ungkap Daniel. Dia baru bisa bertemu dan ngobrol dengan Ahok pada hari kedua syuting di Jakarta. Pertemuan itu lebih bersifat memantapkan “restu” Ahok atas peran Daniel di film.

Sebelumnya, selain “napak tilas” singkat dan naskah, Daniel belajar menjadi tokoh “Ahok” lewat buku serta sejumlah video Ahok di YouTube, ketika dia diwawancara, membuat pernyataan publik, atau memimpin rapat semasa bekerja di Pemprov DKI. Daniel berharap mendapat video Ahok saat bersama keluarga, tetapi hanya foto-foto sejak kecil yang tersedia.

“Padahal film ini soal drama keluarga. Jadi di situlah kami harus berkreasi sendiri, gimana caranya supaya bisa menghidupkan dan membuat orang percaya bahwa Ahok di rumah seperti itu,” ungkap Daniel.

Dari foto, Daniel menyadari bahwa Ahok kecil jauh lebih kurus daripada dirinya sekarang. Atas pertimbangan tim, Daniel tetap mengikuti bentuk tubuh Ahok seperti terlihat di video terkini. “Perlu diet berapa bulan dulu biar bisa sampai kayak dia, tetapi akhirnya ya sudah, orang melihat Ahok di YouTube, kami ikuti Ahok di YouTube.”

Kendati ini adalah film biografi yang diangkat dari kisah nyata, dramatisasi tetap dibutuhkan agar cerita bisa terangkum dalam plot berdurasi satu sampai dua jam. Menurut klaim Tuta, yang menulis naskah bersama Ilya Sigma dan Dani Jaka Sembada, mereka tidak menghilangkan sejarah hidup Ahok, tetapi hanya “memakai sejarah yang dibutuhkan oleh cerita”.

“Tidak ada yang kami hilangkan, kecuali yang tidak benar. Contohnya, bikin drama Ahok menolong seorang bapak, kami bikin Ahok jual sepeda supaya duitnya bisa (digunakan untuk) menolong. Itu enggak benar, jadi kami enggak ambil cerita itu,” ujar Tuta. “Saya tidak menciptakan situasi tambahan karena hidupnya sudah bercerita.”

Namun ada pula elemen plot yang dibuat sebagai semacam ilustrasi. Kepada Tuta, saya menanyakan apakah adegan sidang anggaran dalam salah satu trailer fill adalah reka ulang atas kejadian faktual. Menurut dia, jenis adegan ini adalah contoh atas tindakan yang biasa dilakukan Ahok.

“Cerita adegan tidak menceritakan ada kasus seperti itu, tetapi bagaimana seorang Ahok menanggapi hal seperti itu,” jelasnya.

Judul dan materi promosi film ini memang menampilkan Ahok versi Daniel Mananta sebagai tokoh utama. Namun kisah utama sebenarnya berfokus ke tokoh Kim Nam, ayah Ahok yang diperankan oleh Denny Sumargo dan Chew Kin Wah. Menurut Daniel, Ahok telah menonton pratinjau film dan mengungkap hal senada dengannya.

“Gue merasa, bahkan Pak Ahok sendiri bilang, film ini bukan A Man Called Ahok, tetapi A Man Called Kim Nam. Film ini sangat fokus tentang gimana pengorbanan dan usaha seorang ayah untuk bisa membesarkan seorang anak, yang kita kenal sebagai Ahok,” ujar Daniel. “Kita bakal melihat justru lebih banyak Kim Nam. Ahok adalah ‘dampak’ dari Kim Nam.”

“Film ini adalah (cerita) proses bagaimana bisa ada yang namanya Ahok,” sambung Tuta. “Peran utama itu adalah Daniel Mananta sebagai Ahok, tetapi leading story adalah Tjung Kim Nam.”



Cuplikan trailer A Man Called Ahok (The United Team of Art)

Tuta juga menegaskan bahwa filmnya berkisah tentang relasi ayah dan anak. Tjung Kim Nam, mendiang ayah Ahok, disebut-sebut sebagai satu sosok penting yang turut “menempa” Ahok menjadi seperti sekarang. Dia adalah pengusaha sukses di Belitung Timur dengan jiwa sosial tinggi, bahkan terlampau baik.

“Ini adalah cerita tentang masa kecil Ahok sehingga dia berhasil menjadi pemimpin keturunan Tionghoa pertama di Indonesia yang terpilih secara demokrasi. Kehidupan dia di Jakarta tidak ada di film dan banyak peristiwa dari buku yang saya ceritakan latar belakangnya,” jelasnya.

Membagi Semangat “Ahok”

Sejak beberapa tahun terakhir, Ahok adalah sosok yang lekat dengan kontroversi. Bahkan ada istilah “Ahokers” untuk menyebut kelompok pendukungnya dalam Pilkada DKI Jakarta tahun lalu. Daniel mengakui, setelah dia terlibat dalam proyek film adaptasi ini, banyak orang bertanya apakah dia takut menghadapi situasi “panas” tersebut.

“Gue selalu kasih jawaban sama: Gue ngapain takut karena gue melakukan film ini bukan untuk apresiasi dari orang. Gue syuting film ini untuk menyampaikan pesan, yang menurut gue, punya nilai-nilai yang sesuai dengan misi hidup gue,” ungkap Daniel dengan sorot mata menajam.

“Jadi, jujur, gue enggak takut dan biarpun memerankan sosok kontroversial, enggak ada rasa khawatir sedikit pun. Mungkin karena kena semangat Pak Ahok juga, akhirnya kami benar-benar maju dengan berani tanpa merasa takut.”

Daniel terpilih sebagai pemeran dari sekian aktor melalui audisi. Menurut Tuta, Daniel adalah kandidat yang punya upaya paling besar untuk bisa memerankan Ahok. Aktor kelahiran 1981 ini mengirimkan video tes layar sebanyak dua kali. Video pertama langsung ditarik lagi karena Daniel merasa terbawa gaya presenter. Dia meminta waktu jeda sebulan untuk mendapatkan kembali pola pikir sebagai aktor.

Setelah ikut audisi kedua, Daniel akhirnya dipilih sebagai pemeran. Ini menjadi film panjang pertama Daniel setelah Rumah Dara delapan tahun silam.

“Sudah pasti ada rasa bangga, terhormat, dan gugup memainkan sosok seorang Ahok,” ungkap Daniel. Dia gugup menghadapi komentar penonton yang akan membandingkan penampilan akting dengan sosok asli yang masih hidup. Namun dia bangga dan terhormat karena memerankan sosok idola banyak orang. Menurut Daniel, begitu namanya diumumkan sebagai pemain, kerinduan orang akan Ahok tumpah padanya.

“Rasa cinta yang Pak Ahok dapatkan dari orang banyak, itu kayak gue bisa merasakan juga, biarpun di sini gue cuma menjadi aktor pemeran saja,” imbuhnya.

Tuta menegaskan bahwa mereka tidak hendak menciptakan glorifikasi atau pujian berlebihan kepada sosok Ahok. Dia menyamakan A Man Called Ahok dengan Habibie Ainun, yang mana konsepnya adalah kisah tentang relasi personal antara sosok populer dengan orang terdekat.

“Tujuan awalnya adalah mau membuat film yang bagus saja. Saya tahu, ada kemungkinan dampak seperti ini, seperti itu (dianggap film glorifikasi), tetapi saya yakin pada saat filmnya tayang dan orang menonton, mereka sadar,” ujar Tuta. “Ini bukan cerita tentang ‘the great Ahok’, ini adalah kisah ayah dan anak.”

Tuta juga memberi penekanan khusus lain, bahwa film ini tidak dibuat untuk “Ahokers”, tetapi bagi semua. Dia berharap film ini mampu mengantarkan kisah inspiratif tentang perjuangan dan pengorbanan seorang ayah dalam membesarkan anak-anaknya dengan nilai kebaikan.

“Tidak pernah ada di kepala saya, bahwa film ini untuk Ahokers. Film ini untuk anak muda masa depan. (Ahok adalah) sosok paling pas yang bisa kami berikan sebagai contoh karena dia memberi perubahan yang signifikan dan terasa. Gue ingin banget anak-anak muda nanti berani membuat keputusan dan bertanggung jawab,” pungkas Tuta.

A Man Called Ahok diproduksi oleh The United Team of Art bersama Tujuh Ratus Media dan Oreima Film Production. Film ini telah tayang di bioskop sejak 8 November 2018.

(ELG)


Sumber

Let's block ads! (Why?)

Read Again http://bit.ly/2Dfkznp

Demikianlah informasi dari Meramu Kisah Ayah-Anak lewat A Man Called Ahok

Semoga berita dan informasi artis berjudul Meramu Kisah Ayah-Anak lewat A Man Called Ahok kali ini, dapat memberi manfaat untuk anda semua. Baiklah, sampai jumpa di postingan artikel berita dan informasi artis lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Meramu Kisah Ayah-Anak lewat A Man Called Ahok dengan alamat link https://artis-media.blogspot.com/2018/11/meramu-kisah-ayah-anak-lewat-man-called.html

Subscribe to receive free email updates:

AdBlock Detected!

Ooooooops !!! Forgive me friend -_-

Like this blog? Keep us running by whitelisting this blog in your ad blocker.

Thank you!

×